A. Definisi
Anemia adalah istilah yang
menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar hemoglobin dan
hematokrit di bawah normal. Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara
fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut okesigen ke jaringan (Smeltzer & Bare, 2002).
Anemia adalah berkurangnya kadar Hb
dalam darah sehingga terjadi gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh. Disebut
gravis yang artinya berat dan nilai
Hb di bawah 7 g/dl sehingga memerlukan
tambahan umumnya melalui transfusi. Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah
nilai normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods cells (hematokrit) per
100 ml darah (Price, 2006).
B.
Etiologi
Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni :
1. Kehilangan
sel darah merah
a. Perdarahan
Perdarahan dapat
diakibatkan berbagai penyebab diantaranya adalah trauma, ulkus, keganasan,
hemoroid, perdarahan pervaginam, dan lain-lain.
b. Hemolisis
yang berlebihan
Penghancuran sel darah
merah dalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel
darah merah itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau
perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan
ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada keadaan :
- Hemoglobinopati
atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, contohnya adalah pada penderita
penyakit sel sabit (sickle cell anemia)
- Gangguan
sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia
- Kelainan
membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis herediter dan
eliptositosis
- Difisiensi
enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi
piruvat kinase (Price, 2006).
2. Kekurangan
zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12.
C. Patofisiologi
Timbulnya anemia
mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau kehilangan sel darah
merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat
kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat
penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan
atau hemolisis (destruksi) pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat
akibat efek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah
normal atau akibat beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan
destruksi sel darah merah.
Lisis
sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system fagositik atau dalam
sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping
proses ini bilirubin yang sedang terbentuk dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap
kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan
meningkatkan bilirubin plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang kadar
1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera.
Apabila
sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, seperti yang terjadi
pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin
plasma (protein pengikat hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (mis.,
apabila jumlahnya lebih dari sekitar 100 mg/dL), hemoglobin akan terdifusi
dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin (hemoglobinuria). Jadi ada atau tidak
adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberikan informasi mengenai
lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada pasien dengan hemolisis dan
dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat hemolitik tersebut.
Kesimpulan
mengenai apakah suatu anemia pada pasien tertentu disebabkan oleh penghancuran
sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi, biasanya
dapat diperoleh dengan dasar (1) hitung retikulosit dalam sirkulasi darah, (2)
derajat proliferasi sel darah merah muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya,
seperti yang terlihat dengan biopsy; dan (3) ada atau tidaknya
hiperbilirubinemia dan hemoglobinemian.
Anemia
merupakan penyakit kurang darah yang ditandai rendahnya kadar hemoglobin (Hb)
dan sel darah merah (eritrosit). Fungsi darah adalah membawa makanan dan
oksigen ke seluruh organ tubuh. Jika suplai ini kurang, maka asupan oksigen pun
akan kurang. Akibatnya dapat menghambat kerja organ-organ penting. Salah
satunya otak, otak terdiri dari 2,5 miliar sel bioneuron. Jika kapasitasnya
kurang, maka otak akan seperti komputer yang memorinya lemah, lambat menangkap.
Dan kalau sudah rusak, tidak bisa diperbaiki (Sjaifoellah, 1998).
D. Tanda
dan Gejala
Selain beratnya anemia, berbagai
faktor mempengaruhi berat dan adanya gejala: (1) kecepatan kejadian anemia, (2)
durasinya, (3) kebutuhan metabolism pasien bersangkutan, (4) adanya kelainan
lain atau kecacatan, dan (5) komplikasi tertentu atau keadaan yang
mengakibatkan anemia.
Semakin cepat perkembangan anemia,
semakin berat gejalanya. Pada orang yang normal penurunan hemoglobin, hitung
darah merah, atau hematokrit tanpa gejala yang tampak atau ketidakmampuan yang
jelas secara bertahap biasanya dapat ditoleransi sampai 50%, sedangkan
kehilangan cepat sebanyak 30% dapat menyebabkan kolaps vaskuler pada individu yang sama. Individu
yang telah mengalami anemia selama waktu yang cukup lama, dengan kadar
hemoglobin antara 9 dan 11 g/dl, hanya mengalami sedikit gejala atau tidak ada
gejala sama sekali selain takikardi ringan di saat latihan. Dispneau latihan
biasanya terjadi hanya di bawah 7,5 g/dl; kelemahan hanya terjadi di bawah 6
g/dl; dispneau istirahat di bawah 3 g/dl; dan gagal jantung pada kadar yang
sangat rendah 2 - 2,5 g/dl.
Secara umum gejala klinis anemia
yang muncul merefleksikan gangguan fungsi dari berbagai sistem dalam tubuh
antara lain penurunan kinerja fisik, gangguan neurologik (syaraf) yang
dimanifestasikan dalam perubahan perilaku, anorexia. Sering pula terjadi
abnormalitas pertumbuhan, gangguan fungsi epitel, dan berkurangnya keasaman
lambung. Cara mudah mengenal anemia dengan 5L, yakni lemah, letih, lesu, lelah,
lalai. Kalau muncul 5 gejala ini, bisa
dipastikan seseorang terkena anemia. Gejala lain adalah munculnya sklera (warna
pucat pada bagian kelopak mata bawah).
Anemia bisa menyebabkan kelelahan,
kelemahan, kurang tenaga dan kepala terasa melayang. Namun pada anemia
berat, bisa menyebabkan stroke atau serangan jantung (Sjaifoellah,
1998).
E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Guillermo dan Arguelles
(Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memperkuat penegakkan diagnosa anemia antara
lain:
1. Pemeriksaan
Laboratorium
a. Hemoglobin
Hemoglobin
adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang
beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan
pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli.
b. Penentuan
Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:
- Mean
Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata
eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada
saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang
spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung
dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl,
mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
- Mean
Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin
rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah
merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik
> 31 pg.
- Mean
Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin
eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit.
Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
c. Pemeriksaan
Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan
hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan
pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel
darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada
kolom morfology flag.
d.
Luas Distribusi Sel
Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas
distribusi sel darah merah adalah
parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi
dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan
variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan
nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari
besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV
rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan
zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 %.
e.
Eritrosit Protoporfirin
(EP)
EP
diukur dengan memakai
haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu
dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara
perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah
stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan
terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei
populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
f.
Besi Serum (Serum Iron
= SI)
Besi
serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan
besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena
variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi
kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan
bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
g. Serum
Transferin (Tf)
Transferin
adalah protein tranport besi dan diukur
bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi
kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
h. Transferrin
Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh
transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh
transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan
terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit
peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai
dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan
serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh
transferin dapat diukur dengan perhitungan
rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu
jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma.
i.
Serum Feritin
Serum
feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek
klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga
dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum
feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan
beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran
yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang
tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin
cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi
lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan
tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap
saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria
yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah
20 ug/ l selama trimester II dan III
bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi.
Serum
feritin adalah reaktan fase akut, dapat
juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati,
alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay
immunoabsorben (Elisa).
2. Pemeriksaan
Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas
untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan.
Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin
dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah
tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya
sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai
dan teknik yang dipergunakan. Pengujian
sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk
mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.
F. Pathway
G. Pengkajian
Data-data
yang perlu dikaji pada penderita anemia
meliputi
(Doenges, 1999) :
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : - Keletihan, kelemahan, malaise umum.
- Kehilangan produktivitas ; penurunan semangat
bekerja
- Toleransi terhadap latihan rendah
- kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda : - Takikardi/takipnea; dispneu pada bekerja
atau istirahat
- Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang
tertarik pada sekitarnya.
- Kelemahan otot dan penurunan kekuatan
- .Ataksia, tubuh tidak tegak
- Bahu turun, postur lunglai, berjalan lambat dan
tanda-tanda lainnya yang menunjukkan keletihan
2. Sirkulasi
Gejala : - Riwayat
kehilangan darah kronis, mis., perdarahan GI kronis, menstruasi berat; angina,
CHF (akibat kerja jantung berlebih)
- Riwayat endo karditis infeksi kronik
- Palpitasi
Tanda : - TD :
Peningkatan sistolik dengan diastolik stabil dan tekanan nadi melebar,
hipotensi postural
- Disritmia : Abnormalitas EKG, mis., depresi segmen ST dan pendataran arau
depresi gelombang T; takikardia
- Ekstremitas (warna) : Pucat pada kulit daan membran mukosa (konjungtiva,
mulut, faring, bibir) dan dasar kuku; kulit seperti berlilin, pucat (aplastik,
AP) atau kuning lemon terang (PA)
- Sklera (Biru atau utih)
- Pengisian kapiler melambat
- kuku mudah patah
- Rambut kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara premature.
3.
Eliminasi
Gejala : - Riwayat pielonefritis, gagal ginjal
- Flatulen, sindrom malabsorpsi
- Hematemesis, melena
- Diare atau konstipasi
- Penurunanhaluaran urin
Tanda : Distensi Abdomen
4. Makanan/cairan
Gejala : Penurunan
masukan diet, mual/muntah, dyspepsia, adanya penurunn berat badan.
Tanda : Lidah tampak merah (AP ; defisiensi as. folat
dan vit. B12)
- Membran mukosa kering, pucat
- Turgor kulit : buruk, kering, tampakkisut/hilang elastisitas
- Stomatitis dan glositis
5. Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, ketidakmampuan
berkonsentrasi, insomnia, keseimbangan buruk, sensasi menjadi dingin.
Tanda : gelisah, depresi, cenderung tidur, apatis, epitaksis (aplastik)
6. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen samar ;
sakit kepala
Tanda : Perilaku distraksi, gelisah
7. Pernapasan
Gejala :
Napas pendek pada istirahat dan aktivitas
Tanda :
Takipnea, ortopnea, dispnea
8. Seksualitas
Gejala : Perubahan aliran menstruasi, mis., menoragia atau amenore, hilang
libido (pria dan wanita), impoten
Tanda : Serviks dan dinding vagina pucat
H. Diagnosa
Keperawatan
Diagnosa yang
biasa muncul pada pasien dengan sindrom nefrotik menurut Nurarif & Kusuma (2013), meliputi :
- . Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
- . Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
- . Keletihan
I. Fokus Intervensi
1. Peningkatan perfusi jaringan
2. Memberikan kebutuhan nutrisi/cairan
3. Mencegah komplikasi
J. Perencanaan
keperawatan
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ketidakefektif-an perfusi jaringan
perifer
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan perfusi jaringan perifer pasien efektif dengan kriteria hasil :
Keterangan :
1.
Keluhan ekstrim
2.
Keluhan berat
3.
Keluhan sedang
4.
Keluhan ringan
5.
Tidak ada keluhan
|
-
Kaji warna kulit, suhu dan kelembaban,
apakah seluruh tubuh atau terlokalisir
-
Ukur CRT
-
Palpasi nadi perifer
-
Kaji fungus motorik dan sensorik
-
Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian tablet penambah darah atau agen yang sesuai dengan kondisi anemia
klien
-
Berikan cairan, elektrolit dan
okesigen sesuai indikasi
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan status nutrisi: intake nutrient
dan biochemical measures menunjukkan perbaikan dengan kriteria hasil :
Keterangan :
1.
Keluhan ekstrim
2.
Keluhan berat
3.
Keluhan sedang
4.
Keluhan ringan
Tidak ada keluhan
|
Nutrition Therapy
-
Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai
kebutuhan
-
Monitor makanan/cairan yang dicerna dan
hitung intake kalori sehari-hari
-
Tentukan dengan kolaborasi dengan ahli
diet, jumlah kaloro dan tipe kalori yang dibutuhkan untuk mendapatkan
kebutuhan nutrisi yang tepat
-
Berikan edukasi pada pasien dan
keluarga untuk konsumsi makanan yang tinggi protein, kalori, zat besi dan
vitamin
-
Tentukan apakah klien membutuhkan enteral feeding
-
Berikan nutrisi melalui enteral
apabila dibutuhkan
-
Berikan penjelasan kepada keluarga
mengenai kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh klien
Nutritional Monitoring
-
Monitor albumin, total protein,
hemoglobin dan hematokrit
-
Monitor mual/
muntah
Monitor kalori dan intake
makanan
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Keletihan
|
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkantingkat keletihan pasien berkurang
dengan kriteria hasil :
Keterangan :
1.
Tidak pernah
menunjukkan
2.
Jarang
menunjukkan
3.
Kadang-kadang
menunjukkan
4.
Sering
menunjukkan
5.
Selalu
menunjukkan
|
-
Kaji tingkat keletihan klien dan
tanyakan perasaan klien dengan adanya keletihan yang dialami klien
-
Review kemampuan dan kebutuhan bantuan
dalam melakukan aktivitas sehari -hari
-
Berikan terapi oksigen sesuai
kebutuhan
-
Sarankan untuk beristi-rahat
& tidak terlalu lelah dalam melakukan
aktivitas
|
DAFTAR PUSTAKA
- Anugrah P, dkk. 2012. Anemia Gravis Et Causa Perdarahan Pervaginam. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto.
- Bulechek G, Butcher H, Dochterman J. 2008. Nursing Interventions Classification (NIC), fifth edition. Missouri: Mosby Elsevier.
- Doengoes, E. M., Moorhouse, F. M., & Geisser, C. A. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan (3 ed.). Jakarta: EGC.
- Moorhead S, Johnson M, Maas M, Swanson E. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC), fifth edition. Missouri: Mosby Elsevier.
- NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 - 2014. (M. Ester, Ed., M. Sumarwati, D. Widiarti, & E. Tiar, Trans.) Jakarta: EGC.
- Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis dan NANDA NIC-NOC (Jilid 2 ed.). Yogyakarta: Med Action Publishing.
- Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit (6 ed., Vol. II). (H. Hartanto, Ed., & B. U. Pendit, Trans.) Jakarta: EGC.
- Suryadi, & Yuliani, R. (2001). Praktek klinik asuhan keperawatan pada anak. Jakarta: Sagung Seto.
0 Response to "LAPORAN PENDAHULUAN ANEMIA "
Posting Komentar