SGB (SINDROMA GUILLAIN BARRE)
A. PENDAHULUAN
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia cukup umur muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menjadikan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa hebat untuk penyakit ini, yaitu Idiopathicpolyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome
B. DEFINISI
Sindrom Guillain – Barré (disingkat SGB) atau radang polineuropati demyelinasi akut adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Sindrom ini ditemukan pada tahun 1916 oleh Georges Guillain, Jean-Alexandre Barré, dan André Strohl. Mereka menemukan sindrom ini pada dua tentara yang menderita keabnormalan peningkatan produksi protein cairan otak. Diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisa cairan otak dan electrodiagnostic. Indikasi terjadinya infeksi yaitu kenaikan sel darah putih pada cairan otak. Sedangkan jika menggunakan electrodiagnostic, dapat melalui pemeriksaan konduksi sel saraf (Nugrahanti, 2010)
Sindroma Guillain Barre yaitu suatu kelainan sistem saraf akut dan difus (menyeluruh) yang mengenai radiks spinalis (saraf tulang belakang) dan saraf periter (tepi), kadang – kadang juga hingga ke saraf knanialis (kepala), yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan menyerang semua umur, namun tersering menyerang cukup umur muda. Manifestasi klinis utama dari SGB yaitu suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, tubuh dan adakala juga muka.
Sindroma Guillain Barre merupakan suatu penyakit autoimun (reaksi sistem kekebalan tubuh), dimana proses imunologis tersebut mengenai sistem saraf perifer(tepi).
Parry mengatakan bahwa, SGB yaitu suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 hingga 3 ahad setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut bekerjasama dengan proses autoimun dimana targetnya yaitu saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
C. SEJARAH
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis ihwal penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis, diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya korelasi SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan ihwal adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
D. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk menerima frekwensi tersering pada final musism panas dan trend gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap ketika dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada final trend panas dan trend gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 hingga 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melaksanakan penelitian menerima insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan yaitu 3 bulan dan paling bau tanah usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita yaitu kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia yaitu dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian trend hujan dan kemarau
E. ETIOLOGI
Etiologi SGB hingga ketika ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi materi perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
o Infeksi
o Vaksinasi
o Pembedahan
o Penyakit sistematik: keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison
o Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali bekerjasama dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 hingga 4 ahad sebelum gejala neurologi timbul menyerupai infeksi terusan pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi terusan nafas episode atas atau terusan pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya.
F. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak hebat membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini yaitu melalui mekanisme imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap biro infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menjadikan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh banyak sekali peristiwa sebelumnya, yang paling sering yaitu infeksi virus
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak terperinci gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima , terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi yaitu infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannyaberat akan menjelma degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson
G. KLASIFIKASI
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
· Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
· Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
· Acute motor axonal neuropathy
· Acute motor sensory axonal neuropathy
· Fisher’s syndrome
· Acute pandysautonomia
H. GAMBARAN KLINIS
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan terusan nafas atau terusan pencernaan, 1-3 ahad sebelumnya. Sisanya oleh keadaan menyerupai berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa.
I. GEJALA KLINIS
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama yaitu kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga mampu keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke tubuh dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot episode proksimal lebih berat dari episode distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau episode distal lebih berat dari episode proksimal.
Manifestasi klinis utama yaitu kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga mampu keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke tubuh dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot episode proksimal lebih berat dari episode distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau episode distal lebih berat dari episode proksimal.
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih terperinci pada episode distal ekstremitas, muka juga mampu dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi menyerupai referensi kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui menyerupai rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal yaitu N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga mampu ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis mampu dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia mampu terjadi jawaban terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
J. PERJALANAN PENYAKIT
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, menyerupai pada gambar
1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat hingga mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari hingga 4 minggu, jarang yang melebihi 8 ahad
2. fase plateau, Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini mampu pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
3. Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
K. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Gambaran laboratorium yang menonjol yaitu peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada ahad 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum mampu meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
L. PEMERIKSAAN ELEKTROFISIOLOGI (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah:
o Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
o Distal motor retensi memanjang
o Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menyampaikan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berkhasiat untuk menentukan prognosis penyakit : jika ditemukan potensial denervasi menyampaikan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna
M. MASA LATEN
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan ketika timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu hingga 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
N. PROGNOSIS
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini maut berkisar antara 2-10 % (1,3,6), dengan penyebab maut oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru.
Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara tepat dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki (2,3). Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps.
O. TERAPI
Sampai ketika ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama pengobatan yaitu perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya.
1. Perawatan umum dan fisioterapi
Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan terusan kencing harus segera diobati.
Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menyampaikan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diharapkan untuk waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan.
Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diharapkan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
2. Pertukaran plasma
Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat jika dikerjakan dalam waktu 3 ahad pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange yaitu 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga hingga lima kali exchange.
3. Kortikosteroid
Walaupun telah melewati empat dekade pemakaian kortikosteroid pada SGB masih diragukan manfaatnya. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini penyakit mungkin bermanfaat.
Walaupun telah melewati empat dekade pemakaian kortikosteroid pada SGB masih diragukan manfaatnya. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini penyakit mungkin bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Kiekie. 2009. Mengenal Sindroma Guillain Barre(Lumpuh yang bukan karena Stroke). Dimuat dalam
Japardi Iskandar. 2002. Sindroma Guillain-Barre. Dimuat dalam http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf

Putri Eka. 2009. Sindroma Guillain Barre. Dimuat dalam
Admin. 2009. Sindroma Guillain Barre. Dimuat dalam
0 Response to "SGB (SINDROMA GUILLAIN BARRE)"
Posting Komentar