SIROSIS HEPATIS (SIROSIS HATI)
A. DEFINISI
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan perjuangan regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akhir penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan adanya pembentukan jaringan disertai nodul. Dimulai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan perjuangan regenerasi nodul. (Iin Inayah, 2004).
B. KLASIFIKASI
Secara klinis chirrosis hati dibagi menjadi:
- Chirrosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata
- Chirrosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda klinik yang jelas. Chirrosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati.
Secara morfologi Sherrlock membagi Chirrosis hati bedasarkan besar kecilnya nodul, yaitu:
a. Makronoduler (Ireguler, multilobuler)
b. Mikronoduler (reguler, monolobuler)
c. Kombinasi antara bentuk makronoduler dan mikronoduler.
Menurut Gall spesialis penyakit hati, membagi penyakit chirrosis hati atas:
a. Chirrosis Postnekrotik, atau sesuai dengan bentuk sirosis makronoduler atau sirosis toksik atau subcute yellow, atrophy chirrosis yang terbentuk karena banyak terjadi jaringan nekrose.
b. Nutrisional chirrosis , atau sesuai dengan bentuk sirosis mikronoduler, chirrosis alkoholik, Laennec´s cirrhosis atau fatty cirrhosis. Chirrosis terjadi sebagai akhir kekurangan gizi, terutama faktor lipotropik.
c. Chirrosis Post hepatic, chirrosis yang terbentuk sebagai akhir setelah menderita hepatitis.
Shiff dan Tumen secara morfologi membagi atas:
1. Chirrosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi tempat portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis
2. Chirrosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akhir lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Chirrosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akhir obstruksi bilier yang kronis dan bisul (kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang gres dan tidak bekerjasama yang dikelilingi oleh jaringan parut.
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang gres dan tidak bekerjasama yang dikelilingi oleh jaringan parut.
C. ETIOLOGI
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis adalah:
1. Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta mengambarkan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A
2. Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.
Beberapa obat-obatan dan materi kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan parenkim hati.
3. Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan penyerapan dari Fe.
b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya penyerapan dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.
D. ANATOMI DAN FUNGSI HATI
1. ANATOMI HATI
Hati yaitu organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat tubuh orang sampaumur normal. Pada kondisi hidup berwarna merah bau tanah karena kaya akan persediaan darah.
Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh ligamentum falciforme, di inferior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum teres dan di posterior oleh fissure dinamakan dengan ligamentum venosum. . Lobus kanan hati enam kali lebih besar dari lobus kirinya dan mempunyai 3 adegan utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan lobus quadrates. Hati dikelilingi oleh kapsula fibrosa yang dinamakan kapsul glisson dan dibungkus peritorium pada sebagian besar keseluruhan permukaannnya
Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu : Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan nutrien menyerupai asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan mineral dan Arteri hepatica, cabang dari arteri kuliaka yang kaya akan oksigen.
Untuk lebih jelasnya anatomi hati dapat dilihat pada gambar berikut:
Sumber : Leanerhelp Image Liver
Untuk perbedaan hati yang sehat dengan yang sirosis dapat dilihat pada gambar berikut
Sumber : Info Kesehatan Fungsi Organ Hati
2. FUNGSI HATI
Hati selain salah satu organ di tubuh kita yang terbesar , juga mempunyai fungsi yang terbanyak. Fungsi dari hati dapat dilihat sebagai organ keseluruhannya dan dapat dilihat dari sel-sel dalam hati.
a. Fungsi hati sebagai organ keseluruhannya diantaranya ialah;
1) Ikut mengatur keseimbangan cairan dan elekterolit, karena semua cairan dan garam akan melewati hati sebelum ke jaringan ekstraseluler lainnya.
2) Hati bersifat sebagai spons akan ikut mengatur volume darah, misalnya pada dekompensasio kordis kanan maka hati akan membesar.
3) Sebagai alat saringan (filter)
Semua makanan dan banyak sekali macam substansia yang telah diserap oleh intestine akan dialirkan ke organ melalui sistema portal.
b. Fungsi dari sel-serl hati dapat dibagi
1) Fungsi Sel Epitel di antaranya ialah:
a) Sebagai pusat metabolisme di antaranya metabolisme hidrat, arang, protein, lemak, empedu, Proses metabolisme akan diuraikan sendiri
b) Sebagai alat penyimpan vitamin dan materi makanan hasil metabolisme. Hati menyimpan makanan tersebut tidak hanya untuk kepentingannnya sendiri tetapi untuk organ lainya juga.
c) Sebagai alat sekresi untuk keperluan tubuh kita: diantaranya akan mengeluarkan glukosa, protein, factor koagulasi, enzim, empedu.
d) Proses detoksifikasi, dimana banyak sekali macam toksik baik eksogen maupun endogen yang masuk ke tubuh akan mengalami detoksifikasi dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau konjugasi.
2) Fungsi sel kupfer sebagai sel endotel mempunyai fungsi sebagai sistem retikulo endothelial.
a) Sel akan menguraikan Hb menjadi bilirubin
b) Membentuk a-globulin dan immune bodies
c) Sebagai alat fagositosis terhadap kuman dan elemen puskuler atau makromolekuler.
E. PATOFISIOLOGI DAN PATHWAY
Patofisiologi
Infeksi hepatitis viral tipe B/C menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi tempat yang luas (hepatoseluler), terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati, walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologi sirosis hati sama atau hampir sama, septa bisa dibentuk dari sel retikulum penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan tempat porta dengan sentral. Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan banyak sekali macam ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan gangguan pedoman darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap berikutnya terjadi peradangan pada nekrosis pada sel duktules, sinusoid, retikulo endotel, terjadi fibrinogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari reversible menjadi ireversibel bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada tempat porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung pada etiologi sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi menjadikan fibrosis tempat periportal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis tempat sentral. Sel limposit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis aktif. Septal aktif ini berasal dari tempat porta menyebar ke parenkim hati.
Pathway
Pathway Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) |
F. GEJALA DAN TANDA KLINIS
1. GEJALA
Gejala chirrosis hati menyerupai dengan hepatitis, karena terjadi sama-sama di liver yang mulai rusak fungsinya, yaitu: kelelahan, hilang nafsu makan, mual-mual, tubuh lemah, kehilangan berat badan, nyeri lambung dan munculnya jaringan darah menyerupai laba-laba di kulit (spider angiomas). Pada chirrosis terjadi kerusakan hati yang terus menerus dan terjadi regenerasi noduler serta ploriferasi jaringan ikat yang difus.
2. TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita chrirosis.
Timbulnya ikterus (penguningan ) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60 % penderita selama perjalanan penyakit
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita chirrosis
Ketika liver kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites yaitu peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus . Edema umumnya timbul setelah timbulnya asites sebagai akhir dari hipoalbuminemia dan resistensi garam dan air.
c. Hati yang membesar
Pembesaran hati dapat ke atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm, dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
d. Hipertensi portal
Hipertensi portal yaitu peningkatan tekanan darah vena portal yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi portal yaitu peningkatan resistensi terhadap pedoman darah melalui hati.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:
1. Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada chirrosis hati yaitu perdarahan akhir pecahnya varises esofagus. Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis, biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena sudah bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain yaitu tukak lambung dan tukak duodeni.
2. Koma hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akhir dari faal hati yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melaksanakan fungsinya sama sekali. Koma hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung, tetapi oleh alasannya yaitu lain, antara lain karena perdarahan, akhir terapi terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
3. Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan
4. Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan bermetamorfosis adenomata multiple kemudian bermetamorfosis karsinoma yang multiple
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi tubuh akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya yaitu : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau kehitaman.
c. Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan, kadang –kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal maka gres akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin yaitu 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
2. Sarana Penunjang Diagnostik
a. Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography (PTP)
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c. Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak terperinci kelainan hati. Pada sirosis hati akan terperinci kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
- Istirahat di tempat tidur hingga terdapat perbaikan ikterus, asites, dan demam.
- Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000 kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau III (1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif dibutuhkan diet tinggi kalori (2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil metabolisme protein, dalam darah viseral dapat menjadikan timbulnya koma hepatikum. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
- Mengatasi bisul dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan yang terperinci tidak hepatotoksik.
- Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai cabang dengan glukosa.
- Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum materi yang mengandung alkohol.
Penatalaksanaan asitesis dan edema yaitu :
- Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam (200-500 mg perhari), adakala asitesis dan edema telah dapat diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24 jam, hanya hingga 1 liter atau kurang.
- Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat ditingkatkan hingga 300 mg/hari bila setelah 3 – 4 hari tidak terdapat perubahan.
- Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis. Walupun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan sempat ditinggalkan karena banyak sekali komplikasinya, parasentesis banyak kembali dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila disertai dengan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr untuk setiap liter cairan asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasentesis, pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
- Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat tubuh 1 kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat, dapat mencetuskan ensefalopati hepatik
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Pengkajian pada klien dengan chirrosis hepatis dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, contoh kegiatan sehari-hari. Hal yang perlu dikaji pada klien degan chirrosis hepatis :
1. Aktivitas dan istirahat :
kelemahan, kelelahan, terlalu lelah, letargi, penurunan massa otot/tonus.
2. Sirkulasi
Riwayat Gagal jantung koroner kronis, perikarditis, penyakit jantung, reumatik, kanker (malfungsi hati menimbulkan gagal hati), Distrimia, bunyi jantung ekstra (S3, S4).
3. Eliminasi
Flatus, Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan atau tidak ada bising usus, Feces warna tanah liat, melena, urin gelap, pekat.
4. Nutrisi
Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/tidak dapat menerima, Mual, muntah, Penurunan berat tubuh atau peningkatan cairan penggunaan jaringan, Edema umum pada jaringan, Kulit kering,Turgor buruk, Ikterik, angioma spider, Nafas berbau/fetor hepatikus, perdarahan gusi.
5. Neurosensori
Orang terdekat dapat melaporkan perubahan keperibadian, penurunan mental, perubahan mental, galau halusinasi, koma bicara lambat/tak jelas.
6. Nyeri
Nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran atas, Pruritus, Neuritis Perifer, Perilaku berhati-hati/distraksi, Fokus pada diri sendiri.
7. Respirasi
Dispnea Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, Ekspansi paru terbatas (asites), Hipoksia
8. Keamanan
Pruritus, Demam (lebih umum pada sirosis alkoholik), Ikterik, ekimosis, petekia.
Angioma spider/teleangiektasis, eritema palmar.
Angioma spider/teleangiektasis, eritema palmar.
9. Seksualitas
Gangguan menstruasi/impoten, Atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah lengan, pubis).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Intoleransi acara bekerjasama dengan kelelahan dan penurunan berat badan
2. Perubahan suhu tubuh: hipertermia bekerjasama dengan proses inflamasi pada sirosis
3. Gangguan integritas kulit yang bekerjasama dengan pembentukan edema.
4. Gangguan integritas kulit bekerjasama dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu
5. Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh bekerjasama dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
6. Resiko cedera bekerjasama dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
7. Nyeri kronis bekerjasama dengan biro injuri biologi (hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites)
8. Kelebihan volume cairan bekerjasama dengan asites dan pembentukan edema.
9. Perubahan proses berpikir bekerjasama dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar ammonia
10. Pola napas yang tidak efektif bekerjasama dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akhir aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks
C. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan | Rencana Keperawatan | ||
NOC | NIC | Rasional | |
Intoleransi acara bekerjasama dengan kelelahan dan penurunan berat badan | Tujuan: Peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas Kriteria Hasil: · Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien. · Merencanakan acara untuk menawarkan kesempatan istirahat yang cukup. · Meningkatkan acara dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan. · Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet. | 1. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP). 2. Berikan pelengkap vitamin (A, B kompleks, C dan K) 3. Motivasi pasien untuk melaksanakan latihan yang diselingi istirahat 4. Motivasi dan bantu pasien untuk melaksanakan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap | 1. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan. 2. Memberikan nutrien tambahan. 3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melaksanakan latihan dalam batas toleransi pasien. 4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri |
Perubahan suhu tubuh: hipertermia bekerjasama dengan proses inflamasi pada sirosis | Tujuan: Pemeliharaan suhu tubuh yang normal Kriteria Hasil: · Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi. · Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat. | 1. Catat suhu tubuh secara teratur. 2. Motivasi asupan cairan 3. Lakukan kompres cuek atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh. 4. Berikan antibiotik menyerupai yang diresepkan. 5. Hindari kontak dengan infeksi. 6. Jaga semoga pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi. | 1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi. 2. Memperbaiki kehilangan cairan akhir perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien. 3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien. 4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi. 5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik. 6. Mengurangi laju metabolik. |
Gangguan integritas kulit yang bekerjasama dengan pembentukan edema. | Tujuan: Memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema. Kriteria Hasil: · Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun. · Tidak memperlihatkan luka pada kulit. · Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di tempat tonjolan tulang. · Mengubah posisi dengan sering. | 1. Batasi natrium menyerupai yang diresepkan. 2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit. 3. Balik dan ubah posisi pasien dengan sering. 4. Timbang berat tubuh dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari. 5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus. 6. Letakkan alas busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya. | 1. Meminimalkan pembentukan edema. 2. Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma. 3. Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema. 4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik. 5. Meningkatkan mobilisasi edema. 6. Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan stress berat jikalau dilakukan dengan benar. |
Gangguan integritas kulit bekerjasama dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu | Tujuan: Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit Kriteria Hasil: · Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi. · Melaporkan tidak adanya pruritus. · Memperlihatkan pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera. · Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari. | 1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera. 2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melaksanakan masase dengan losion pelembut (emolien). 3. Jaga semoga kuku pasien selalu pendek. | 1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi. 2. Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus. 3. Mencegah ekskoriasi kulit akhir garukan. |
Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh bekerjasama dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal. | Tujuan: Perbaikan status nutrisi Kriteria Hasil: · Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai. · Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet. · Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites. · Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering. · Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat. · Menyisihkan alkohol dari dalam diet. · Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual. · Menggunakna obat kelainan gastrointestinal menyerupai yang diresepkan. · Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur. · Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata. | 1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan pelengkap makanan. 2. Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering. 3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya. 4. Pantang alkohol. 5. Pelihara higiene oral sebelum makan. 6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual. 7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi. 8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jikalau pasien melaporkan konstipasi. 9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal. | 1. Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal. 2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia. 3.Meningkatkan selera makan dan rasa sehat. 4. Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol. 5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan. 6. Dapat mengurangi frekuensi mual. 7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan impian terhadap makanan. 8. Meningkatkan contoh defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen. 9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius. |
Resiko cedera bekerjasama dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat. | Tujuan: Pengurangan resiko cedera Kriteria Hasil: · Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang aktual dari traktus gastrointestinal. · Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok. · Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal. · Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom. · Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal. · Mempertahankan istirahat dalam keadaan damai ketika terjadi perdarahan aktif. · Mengenali rasional untuk melaksanakan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan. · Melakukan tindakan untuk mencegah stress berat (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada dikala defekasi). · Tidak mengalami efek samping pemberian obat. · Menggunakan semua obat menyerupai yang diresepkan. · Mengenali rasional untuk melaksanakan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat. | 1. Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya. 2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan. 3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi. 4. Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi. 5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu. 6. Jaga semoga pasien damai dan membatasi aktivitasnya. 7. Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus. 8. Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan. 9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan. 10. Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jikalau diperlukan. 11. Berikan vitamin K menyerupai yang diresepkan. 12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan. 13. Tawarkan minuman cuek lewat verbal ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan). 14. Lakukan tindakan untuk mencegah stress berat : a. Mempertahankan lingkungan yang aman. b. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-lahan. c. Menyediakan sikat gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi. d. Mendorong konsumsi makanan dengan kandungan vitamin C yang tinggi. e. Melakukan kompres cuek jikalau diperlukan. f. Mencatat lokasi tempat perdarahan. g. Menggunakan jarum kecil ketika melaksanakan penyuntikan. 15. Berikan obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat. | 1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal. 2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok. 3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan. 4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah. 5. Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok. 6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan. 7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan. 8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang dibutuhkan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus) 9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah. 10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko stress berat lebih lanjut pada esofagus dan lambung. 11. Meningkatkan pembekuan dengan menawarkan vitamin larut lemak yang dibutuhkan untuk mekanisme pembekuan darah. 12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya. 13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung. 14. Meningkatkan keamanan pasien. a. Mengurangi resiko stress berat dan perdarahan dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll. b. Mengurangi resiko epistaksis sekunder akhir stress berat dan penurunan pembekuan darah. c. Mencegah stress berat pada mukosa oral sementara higiene oral yang baik ditingkatkan. d. Meningkatkan proses penyembuhan e. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal. f. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang gres dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya. g. Meminimalkan perambesan dan kehilangan darah akhir penyuntikan yang berkali-kali. 15. Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melaksanakan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal. |
Nyeri kronis bekerjasama dengan biro injuri biologi (hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites) | Tujuan: Peningkatan rasa kenyamanan Kriteria Hasil: · Mempertahankan tirah baring dan mengurangi acara ketika nyeri terasa. · Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan. · Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen. · Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jikalau terasa. · Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites. · Merasakan pengurangan rasa nyeri. · Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri. · Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat tubuh yang sesuai. | 1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen. 2. Berikan antipasmodik dan sedatif menyerupai yang diresepkan. 3. Kurangi asupan natrium dan cairan jikalau diinstruksikan. | 1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati. 2. Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen. 3. Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi. 4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut. |
Kelebihan volume cairan bekerjasama dengan asites dan pembentukan edema. | Tujuan: Pemulihan kepada volume cairan yang normal Kriteria Hasil: · Mengikuti diet rendah natrium dan pembatasan cairan menyerupai yang diinstruksikan. · Menggunakan diuretik, pelengkap kalium dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping. · Memperlihatkan peningkatan haluaran urine. · Memperlihatkan pengecilan lingkar perut. · Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan cairan. | 1. Batasi asupan natrium dan cairan jikalau diinstruksikan. 2. Berikan diuretik, pelengkap kalium dan protein menyerupai yang dipreskripsikan. 3. Catat asupan dan haluaran cairan. 4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari. 5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan. | 1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema. 2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal. 3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan. 4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan. 5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan. |
Perubahan proses berpikir bekerjasama dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia. | Tujuan: Perbaikan status mental Kriteria Hasil: · Memperlihatkan perbaikan status mental. · Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-batas yang normal. · Memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang. · Melaporkan contoh tidur yang normal. · Menunjukkan perhatian terhadap kejadian dan acara di lingkungannya. · Memperlihatkan rentang perhatian yang normal. · Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat. · Melaporkan kontinensia fekal dan urin. · Tidak mengalami kejang. | 1. Batasi protein makanan menyerupai yang diresepkan. 2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering. 3. Berikan perlindungan terhadap infeksi. 4. Pertahankan lingkungan semoga tetap hangat dan bebas dari angin. 5. Pasang alas pada penghalang di samping tempat tidur. 6. Batasi pengunjung. 7. Lakukan pengawasan keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien. 8. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat. 9. Bangunkan dengan interval. | 1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein). 2. Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga. 3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut. 4. Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik. 5. Memberikan perlindungan kepada pasien jikalau terjadi koma hepatik dan serangan kejang. 6. Meminimalkan acara pasien dan kebutuhan metaboliknya. 7. Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang gres terjadi dan meminimalkan stress berat pada pasien yang mengalami gejala konfusi. 8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akhir penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat. 9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien. |
Pola napas yang tidak efektif bekerjasama dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akhir aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks | Tujuan: Perbaikan status pernapasan KriteriaHasil: · Mengalami perbaikan status pernapasan. · Melaporkan pengurangan gejala sesak napas. · Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat. · Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya bunyi pernapasan tambahan. · Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal. · Memperlihatkan gas darah yang normal. · Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis. | 1. Tinggalkan adegan kepala tempat tidur. 2. Hemat tenaga pasien. 3. Ubah posisi dengan interval. 4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis. a. Berikan pinjaman dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur. b. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi. c. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi. | 1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal. 2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien. 3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua adegan paru). 4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang angker bagi pasien. Bantu pasien semoga bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman. a. Menghasilkan catatan wacana cairan yang dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan. b. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura). |
DAFTAR PUSTAKA
Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 2006, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis
Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta
Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis
Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002, NANDA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Soeparman. (2004). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta .
0 Response to "LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HEPATIS (SIROSIS HATI)"
Posting Komentar